Kalimantan Timur
Berdampingan dengan Alam, Sejatera Tanpa Merusak Hutan

Foto: Dok.humaskaltim

Riam Sungai Lakan begitu mempesona. Jernih airnya menggoda setiap mata. Berkelindan di antara batuq, gemercik suaranya mengirimkan aura kesejukan.  Di tepian sungai, rimbun pohon dan tumbuhan hutan bersahutan melambai menambah asri suasana. Kaki pun enggan beranjak pulang saat berada di sana.  

Ekowisata sungai ini dibuka September lalu. Menjadi primadona baru destinasi wisata di Kabupaten Kutai Barat (Kubar). Lokasinya berada di antara destinasi wisata Gunung S dan Kampung Lakan Bilem di Kecamatan Nyuatan. 

05ad2363-8ab8-4168-a84f-fe6e11333cba

“Kami mohon kepada pemerintah agar kawasan di sekitar hulu Sungai Lakan ini tidak untuk aktivitas perkebunan dan tambang batu bara,” pinta  Petinggi Kampung Lakan Bilem Yosianus Moja di Bumi Perkemahan Batuq  Bura (Batu Putih) Kampung Lakan Bilem, Minggu (13/12/2020). 

Curhat Yosianus Bilem itu disampaikan kepada sejumlah wartawan yang mengikuti Kunjungan Jurnalistik Peningkatan Kesadartahuan Publik kerja sama Biro Humas Setda Provinsi Kaltim dengan Forest Carbon Facility Partnership Carbon Fund (FCPF-CF) terkait pentingnya menjaga hutan agar tetap lestari. Ekowisata Sungai Lakan sendiri berada di areal bumi perkemahan tersebut.

Mengapa mereka tidak ingin hulu Sungai Lakan dirusak? Karena mereka yakin, ketika hulu sungai dirusak, maka hilirnya pun  akan rusak.  Mereka tidak ingin anak cucu mereka kelak terkena imbasnya.

Hutan yang mereka lindungi luasnya kurang lebih 200 hektar. Sejak tahun 2012 mereka sudah membuat aturan untuk melindungi hutan.  Mereka yang melanggar akan dikenai sanksi teguran dan denda adat. Besaran denda adat dibayar dengan ukuran gantang, sekira Rp500 ribu, menyesuaikan luas yang dirusak. 

2b2c551e-dc48-441d-a298-64c522435d5e

Denda adat itu sudah pernah diberlakukan kepada warga yang melanggar sekitar tahun 2014. Kala itu dendanya sebesar Rp5 juta.

Kampung Lakan Bilem merupakan salah satu desa yang menyetujui pelaksanaan program FCPF-CF. Selanjutnya, dengan komitmen besar menjaga hutan itu, mereka akan menikmati kucuran dana karbon atas kontribusi mereka mencegah deforestasi dan degradasi hutan, serta menyerap karbon dengan hutan yang masih terus mereka pertahankan.

Masyarakat Lakan Bilem menegaskan, mereka tidak terpengaruh dengan ada atau tidaknya dana karbon. Sebab yang mereka perlukan hanya dukungan pemerintah untuk bersama menjaga hutan mereka dan menyilakan masyarakat memanfaatkan kekayaan hutan tanpa merusaknya. 

“Apa yang kami buat ini, adalah hasil yang kami terima. Jadi, ada atau tidak dana karbon, kami akan tetap menjaga hutan kami,”  tegas Yosianus. 

Mereka pun bergeming, sekalipun godaan dan rayuan tambang dan perkebunan beberapa kali menghampiri. “Kami tetap komitmen untuk menjaga hutan,” tandasnya.

Kampung Lakan Bilem berpenduduk 380 jiwa dengan 118 kepala keluarga dan 4 RT. Saat ini, selain terus bertani kakao dan karet, mereka juga akan memaksimalkan kelompok kerajinan untuk membuat produk-produk yang bisa dijual di sekitar lokasi ekowisata Sungai Lakan yang di hari libur jumlah pengunjung bisa mencapai 400 orang.

Tetangga mereka, Kampung Linggang Melapeh pun memiliki komitmen yang sama. Sekitar 90 hektar di kawasan Gunung Eno, ditambah 10 hektar hibah warga, mereka lindungi. 

Warga Kampung Linggang Melapeh di Kecamatan Linggang Bigung pun telah meneguhkan komitmen untuk kreatif dan mandiri memanfaatkan segala potensi di sekitar hutan, tanpa merusak hutan.

PHOTO-2020-12-12-21-36-42

Gunung Eno yang mereka lestarikan menjadi pelindung lima mata air dan sumber kehidupan masyarakat setempat. Mereka sudah bersepakat untuk tidak mengganggu kawasan hutan itu,  karena mereka yakin hutan adalah sumber kehidupan. Sejak tahun 1982 hutan itu konsisten mereka jaga. 

Kawasan Lindung Gunung Eno melindungi lima mata air yang mengalir ke sejumlah sungai antara lain Sungai Maap, Sungai Lemiang, Sungai Sulau dan Sungai Atay Selah.

9cafeb33-ddce-4198-9e25-e3d539ae309e

“Komitmen terus kami bangun agar masyarakat bisa terus hidup mandiri dan sejahtera berdampingan dengan alam, tanpa merusak hutan,” jelas Petinggi Kampung Linggang Melapeh, Musiman. Kawasan Lindung Gunung Eno sudah dikuatkan dengan SK Bupati Kubar.

Pendamping WWF untuk Kampung Linggang Melapeh, Ari Wibowo menjelaskan. Terpenting yang harus dilakukan kepada masyarakat di sekitar hutan adalah mengalihkan eksploitasi menjadi pemanfaatan lahan yang tidak digunakan menjadi lahan yang lebih produktif dengan pengelolaan yang benar.

“Kita harus mendorong masyarakat menjadi kuat. Kuat dalam pengertian mengenal kemampuannya sendiri dan kuat dalam berjejaring, sehingga produk yang dihasilkan bisa dipasarkan dengan baik. Membuktikan akhirnya mereka memiliki mata pencaharian sendiri sehingga kampung bisa menjadi mandiri,” kata Ari.

d8f6d648-f974-4bee-a0da-1ab8772deb84

WWF akan terus mendorong masyarakat untuk lebih mendekatkan diri dengan alam (natural resources). Intinya, mengajak masyarakat untuk menekan deforestasi dan degradasi hutan, dengan cara tidak menebang hutan, tetapi memanfaatkan lahan-lahan yang sudah ada di sekitar kawasan hutan dengan cara kelola yang benar. Secara ekonomi meningkat, namun tidak menambah deforestasi dan degradasi hutan.

Sementara di Kampung Intu Lingau, juga di Kecamatan Nyuatan, rombongan wartawan yang dipimpin Kabag Kehumasan Biro Humas Setda Provinsi Kaltim Andik Riyanto, diterima oleh Petinggi Kampung, Abed Nego.

Kampung ini menjaga 5000 hektar dari sekitar 8000 hektar hutan lindung yang ada di sekitar mereka. “Sesungguhnya, durian paling enak di Kubar itu datang dari Intu Lingau. Kami tidak pakai pupuk dan pestisida. Jadi durian ini benar-benar alami dari lembo (tanaman warisan orang tua dulu),” aku Abed Nego. Warga Intu Lingau juga berkomitmen untuk terus menjaga hutan mereka dan menyerap karbon dunia. (Samsul arifin/humaskaltim)

Berita Terkait
Government Public Relation