Kalimantan Timur
Bere: HAM Lebih Penting daripada Bisnis

Bere: HAM Lebih Penting daripada Bisnis

 

SAMARINDA - Pemerintah Provinsi Kaltim menegaskan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) lebih penting daripada pelaksanaan bisnis. Hal ini diutarakan oleh Asisten Kesejahteraan Rakyat Setprov Kaltim H Bere Ali, Kamis (26/11).  

“Dalam kegiatan berbisnis, HAM lebih penting daripada bisnis itu sendiri. Sebesar apapun pendapatan yang diperoleh oleh sebuah perusahaan maupun individu dari menjalankan sebuah bisnis, keberhasilan itu akan ternoda jika ada hak asasi manusia yang terenggut di sana,” sebut  Bere saat menghadiri Konsultasi Publik Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang terselenggara atas kerjasama Pemprov Kaltim dengan Komnas HAM RI dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).  

Pada kesempatan ini, Bere Ali membacakan kegiatan bisnis di Provinsi Kaltim yang didominasi oleh sektor pertambangan. Sayangnya, meskipun menjadi sektor yang paling mendominasi jumlah korporasi/perusahaan di Kaltim, dampak buruk yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan ini juga cukup besar.  

Berbagai permasalahan mulai dari permasalahan lingkungan, seperti rusaknya lahan masyarakat, pencemaran lingkungan sekitar karena limbah, serta polusi suara yang merupakan dampak dari bisingnya aktivitas pabrik pengolahan telah banyak dirasakan oleh masyarakat.

Bahkan, dampak buruk dari kegiatan pertambangan telah merenggut nyawa anak-anak Kaltim. Tercatat tak kurang dari 12 anak telah menjadi korban kolam bekas tambang milik beberapa perusahaan yang tidak bertanggung jawab.  

Kejadian ini membuat responsibilitas dari para korporasi pertambangan dipertanyakan, karena dalam pelaksanaannya masih belum mengedepankan hak-hak asasi masyarakat sekitar. Sejalan dengan hal ini, Pemprov Kaltim terus mengupayakan adanya pembatasan jumlah korporasi pertambangan di Kaltim.

 

“Pak Gubernur (Awang Faroek Ishak) sudah sejak lama ingin menerapkan moratorium perusahaan pertambangan di Kaltim dan insyallah akan segera terlaksana di 2016,” papar Bere Ali.   

Disebutkannya, moratorium ini mengikuti Undang-Undang (UU) No 23 Tahun 2014 yang akan diimplementasikan pada tahun 2016.   

Selain itu, implementasi UU ini berkaitan dengan rencana penerapan Green Economy oleh Pemprov Kaltim. Bere menjelaskan, dalam program ini, segala kegiatan perekonomian yang memanfaatkan sumber daya alam (SDA) yang tidak dapat diperbarui akan ditekan jumlahnya sedemikian rupa, sehingga lingkungan akan tetap terjaga.

“Kita akan berusaha semaksimal mungkin untuk memanfaatkan SDA secara efektif dan efisien demi kesejahteraan rakyat Kaltim dalam jangka waktu yang panjang,” tegasnya.  

Diskusi publik ini dihadiri langsung oleh Ketua Komnas HAM RI, Nur Kholis, yang ingin mendengar langsung bagaimana keadaan HAM dan hubungannya dengan kegiatan bisnis di Kaltim, khususnya pertambangan. Hadir pula perwakilan dari sejumlah korporasi minyak dan gas serta batubara di Kaltim, seperti Pertamina, Chevron, PT Kaltim Prima Coal, Kideco dan lebih dari 15 perusahaan lainnya. Juga masyarakat sekitar kawasan pertambangan dan ibu dari anak-anak yang meninggal di kolam eks tambang di Kaltim.  

Nur Kholis menyebutkan setelah diskusi tersebut berakhir, pihaknya semakin memahami bahwa dalam penegakan hukum, terlebih yang menyangkut masalah HAM di kawasan bisnis pertambangan, dibutuhkan sinergitas. Masyarakat, korporasi, maupun negara harus memiliki visi yang sama dan regulasi yang tegas memang harus dibuat dan tentu saja harus diterapkan.  

“Setelah ini Komnas HAM akan mengkaji lebih lanjut masalah ini, hingga nantinya bisa muncul sebuah peraturan yang adil dan tidak lagi merugikan masyarakat,” tegas Nur Kholis.  (aka/sul/hmsprov)

Berita Terkait
Government Public Relation