Kalimantan Timur
Empat Sejarah Pertempuran Melawan Penjajahan di Samarinda

dok.biro adpim

SAMARINDA - Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Nasional tahun 2021, Dinas Sosial Provinsi Kaltim menggelar  kegiatan Napak Tilas Perjuangan tingkat SMA/SMK dan sederajat yang dilepas  Gubernur Kaltim diwakili  Kepala Dinas Sosial Provinsi Kaltim  Agus Hari Kesuma di halaman Kantor Camat Sambutan Samarinda, Ahad (26/12/2021).

 

Namun sebelum pelepasan  20 regu  Napak Tilas Perjuangan, terlebih dahulu dibacakan sejarah perjuangan pahlawan Samarinda melawan penjajahan oleh Kepala Seksi Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan, dan Restorasi Sosial  (K2KRS) Dinas Sosial Kaltim  Abdul Khair. 

 

Dikatakan ada empat pertempuran bersejarah terjadi di Samarinda setelah Belanda kembali datang selepas kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.

 

Diceritakan, selepas kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta, situasi tak begitu saja tentram di Tanah Air. Bahkan upaya penjajahan kembali digencarkan Belanda. Hingga setidaknya terjadi empat pertempuran monumental di Samarinda. Sebagaimana daerah lainnya di Indonesia, Samarinda termasuk yang harus berjuang melawan pendudukan Belanda. 

 

“Empat pertempuran bersejarah selama masa mempertahankan kemerdekaan di Samarinda. Salah satunya adalah serangan Belanda di markas persembunyian pejuang di Kampung Pinang Air Putih. Tiga lainnya, sebulan sebelum perang di Kampung Pinang tersebut. Seperti adu senjata di Kampung Sambutan pada 6 Januari 1947,” kata Abdul Khair di hadapan undangan dan peserta regu napak tilas perjuangan.  

 

Ketika itu, lanjut  Khair,  pasukan Herman Runturambi berusaha bersembunyi dari kejaran pasukan Belanda dan membangun markas di kawasan tersebut. Tapi persembunyian tersebut berhasil tercium mata-mata NICA. Maka terpiculah pertempuran pertama di Samarinda. Antara pejuang melawan penjajah. 

 

Konflik senjata itu makan korban. Seorang patriot bernama Tarmidzi gugur dalam pertempuran. 

 

“Melanjutkan perlawanan, pasukan pejuang menyingkir ke Kampung Solong. Pada 7 Januari 1947, M Djunaid Sanusie, Ali Badrun Noor, dan Imberan, menemui Herman Runturambi di Solong mendiskusikan langkah lanjutan mengusir penjajah. Di tengah musyawarah, H Djamharie, seorang pedagang ikan di Pasar Pagi, membawa kabar jika pasukan Belanda bergerak menuju Solong,”paparnya. 

 

Akibatnya, kata Khair, pertempuran kedua pun tak bisa dihindari. Kalah strategi dan senjata. Pimpinan pejuang menarik diri. Melintasi sawah lalu menyeberangi Sungai Lempake (anak Sungai Karang Mumus) dengan perahu. Sepekan kemudian, malam hari, 15 Januari 1947, gerilyawan Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI), menyerang kompleks perumahan pejabat Kesyahbandaran (Havenmeester) di Teluk Lerong. Saat itu orang-orang Belanda sedang pesta. 

 

“Terjadi tembak-menembak antara pejuang dengan polisi dan tentara Belanda yang berjaga di sekitar tempat berpesta.

 

Akibat pertempuran itu, lanjut khair  para pejuang kemudian mundur,  berpencar,  Kekuatan tak berimbang. Pertempuran ketiga di Samarinda kembali dimenangkan musuh. Sembilan hari kemudian, 24 Januari 1947, Herman Runturambi dan sebagian kekuatan berpindah ke  Sangasanga.

 

 Setelah tiga hari, meletuslah peristiwa Merah Putih. Meledak di kecamatan yang berjarak 30 kilometer dari Samarinda. Kisah pertempuran kolosal itu tercatat dalam risalah eksponen Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI) bersama Jarahdam IX/Mulawarman. Berjudul Palagan Perebutan Kota Minyak Sanga-Sanga (1982). 

 

“Mengenang pejuang yang gagah berani mempertahankan kemerdekaan, Pemkot Samarinda pada 10 November 1991, meresmikan empat Tugu Palagan. Tersebar di Jalan Sultan Sulaiman, dekat Kantor Kecamatan Sambutan; Jalan Damanhuri II; Jalan RE Martadinata, dekat Taman Lampion Garden; dan Jalan Pangeran Suryanata, seberang Masjid Asy Syuhada. Tugu itu pula penanda pertempuran di wilayah tersebut,” kata Abdul Khair. 

 

Dalam kesempatan tersebut Abdul Khair  juga membacakan sejarah singkat Sultan Aji Muhammad Idris, tepat pada Peringatan Hari Pahlawan tahun 2021, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada beberapa tokoh yang berpengaruh dalam kemerdekaan Indonesia, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 109 dan 110 /TK/Tahun 2021 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Jasa. 

 

“Salah satu penerima pengahragaan berasal dari Kalimantan Timur, yaitu Sultan Aji Muhammad Idris dari Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura,” ujarnya.

 

Sultan Aji Muhammad Idris, kata Khair merupakan Sultan ke-14 dari Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Ia memerintah kesultanan ini sejak 1735 hingga tahun 1778. Dalam riwayat perjalanan Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Sultan Aji Muhammad Idris merupakan sultan pertama yang menyandang nama bernuansa Islam.

 

Sultan Aji Muhammad Idris adalah cucu menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng yang berangkat ke Tanah Wajo, Sulawesi Selatan. Di Wajo, ia turut bertempur bersama rakyat Bugis melawan Veerenigde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi dagang atau perusahaan Hindia Timur Belanda.

 

“Dengan gagah berani, Sultan Aji Muhammad Idris terlibat dalam penggempuran VOC. Namun, dalam pertempuran itu, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan perang. Gugurnya Sultan Aji Muhammad Idris membuat pemerintahan kesultanan kosong. Untuk mengisi roda pemerintahan, kemudian dikelola sementara oleh Dewan Perwalian,” papar Abdul Khair.

(mar/sul/adpimprov kaltim)

Berita Terkait
Government Public Relation