SAMARINDA – Pemerintah daerah harus membentuk tata niaga tanaman hortikultura, berupa sayuran, bumbu-bumbuan dan buah-buahan agar harga di tingkat penjualan normal, tidak terlalu tinggi bagi konsumen ataupun terlalu murah bagi petani.
Saat ini tidak ada penentuan harga dasar untuk produk pertanian layaknya penetapan harga dasar pembelian gabah kering giling (GKG) yang telah ditetapkan pemerintah.
Jika ada tata niaga produk hortikultura, diharapkan tidak merugikan petani dan menguntungkan semua pihak termasuk stabilnya harga di tingkat pedagang dan konsumen.
“Saatnya pemerintah dan swasta menyusun tata niaga tanaman hortikultura agar keuntungan petani tidak diambil terlalu banyak oleh pedagang. Begitupun dengan konsumen tidak merasa harga yang ditawarkan terlalu tinggi,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim, H. Johny Anwar, Rabu (6/3).
Kaltim hingga saat ini masih bergantung pada impor barang pangan dan hortikultura dari provinsi lain. Ini terkait juga dengan kelancaran transportasi yang sangat mempengaruhi harga barang.
Masalah transportasi ini juga memaksa pedagang mendatangkan bumbu-bumbuan jenis bawang dan cabe yang diangkut menggunakan pesawat udara. Walaupun cepat dan mampu bertahan dari kebusukan, cara ini juga masih menguntungkan walaupun tidak sebesar keuntungan jika menggunakan jalur laut-darat.
“Konsekuensinya harga di tingkat konsumen menjadi sangat tinggi. Karena masih banyak dibeli konsumen, maka dapat memicu inflasi yang tinggi. Solusinya yaitu dengan memproduksi sendiri tanaman untuk mengurangi impor dari provinsi lain,” ujarnya.
Diakuinya, walaupun tanah-tanah di Kalimantan Timur tidak sesubur di Pulau Jawa tetapi terdapat segmen-segmen tanah yang kesuburannya hampir sama walau letaknya tidak dalam satu hamparan.
Menurut dia, produksi tanaman pangan dan tanaman hortikultura dapat di tanam dengan baik di seluruh wilayah Kaltim. Contohnya, cabe, tomat, berbagai jenis sayuran serta buah naga, mampu diproduksi dengan baik.
Perlu kesadaran dan standar harga yang seragam. Sehingga harga tidak terlalu murah di tingkat petani dan menguntungkan pedagang atau sebaliknya harga di tingkat petani terlalu tinggi sehingga menurunkan minat beli konsumen.
“Buah naga contohnya, walaupun konsumen berminat membeli tetapi harga di tingkat petani terlalu mahal. Sementara harga buah naga di supermarket dapat lebih rendah. Ini akan merugikan petani,” ujarnya.(yul/hmsprov).
Foto : Buah-buahan lokal perlu perlindungan dengan tata niaga local sehingga mampu menjamin harga ditingkat petani hingga ke konsumen.(dok/humasprov kaltim)
25 September 2020 Jam 22:49:52
Pertanian dan Ketahanan Pangan
21 Februari 2013 Jam 00:00:00
Pertanian dan Ketahanan Pangan
14 Mei 2018 Jam 20:22:35
Pertanian dan Ketahanan Pangan
21 Juni 2013 Jam 00:00:00
Pertanian dan Ketahanan Pangan
16 Juni 2020 Jam 20:06:07
Pertanian dan Ketahanan Pangan
12 Oktober 2013 Jam 00:00:00
Pertanian dan Ketahanan Pangan
02 April 2023 Jam 17:47:35
Agama
02 April 2023 Jam 17:46:42
Wakil Gubernur Kaltim
02 April 2023 Jam 17:41:01
Ibu Kota Negara
01 April 2023 Jam 22:25:35
Gubernur Kaltim
01 April 2023 Jam 14:30:08
Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Timur
14 Maret 2022 Jam 15:54:00
Ibu Kota Negara
06 Januari 2014 Jam 00:00:00
Pertanian dan Ketahanan Pangan
11 September 2019 Jam 23:31:22
Pendidikan
08 April 2013 Jam 00:00:00
Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri
26 Oktober 2018 Jam 08:10:25
Produk K-UKM
16 Januari 2020 Jam 13:41:45
Penataan Ruang
01 Juli 2022 Jam 07:55:43
Deregulasi Kebijakan
11 November 2015 Jam 00:00:00
Komunikasi dan Informatika
11 April 2016 Jam 00:00:00
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
08 Mei 2022 Jam 21:07:38
Gubernur Kaltim