Kalimantan Timur
Pemprov Diminta Segera Buat Regulasi Biodiesel
Usulan Dari Ajang Kaltim Summit II-2013
BALIKPAPAN - Salah satu rekomendasi yang dihasilkan melalui  kelompok kerja (pokja) II yang membidangi permasalahan energi dan infrastruktur pada Kaltim Summit II 2013 adalah usulan agar Pemprov Kaltim segera membuat aturan yang mendorong agar setiap perusahaan perkebunan kelapa sawit menyisihkan 20 persen produksinya untuk industri biodiesel (solar). 
Kebijakan ini diyakini akan sangat mendukung pertumbuhan ekonomi hijau berkelanjutan (green growth economy) yang dicanangkan dalam Kaltim Summit II yang berlangsung 30-31 Juli.  
Usulan ini disampaikan Dr Rudianto Amirta dari Universitas  Mulawarman (Unmul) Samarinda. Menurut dia, kebijakan pemerintah akan menjadi umpan awal bagi sektor swasta, khususnya para pengusaha perkebunan untuk kemudian mau membangun pabrik pengolah crude palm oil (CPO) menjadi biodiesel. 
“Daerah dapat melakukan umpan awal melalui regulasi yang diterbitkan dalam bentuk peraturan daerah (Perda). Pemerintah menyediakan sarana publik,  karena itu pengusaha pasti akan tunduk dengan aturan itu. 
Haruskan low grade CPO di daerah agar  dikonversi menjadi solar. Lalu wajibkan dan awasi perusahaan tambang dan industri untuk menggunakan biodiesel ini,” kata Rudianto Amirta dalam pembahasan yang dipandu Asisten II Setprov Kaltim HM Sa’bani, Rabu (31/7).
Pengawasan penggunaan bahan bakar solar dari industri biodiesel oleh perusahaan pertambangan dan industri ini harus diawasi secara ketat melibatkan semua daerah. Dengan begitu, eksistensi industri biodiesel akan berkelanjutan dan tentu saja  lebih ramah lingkungan.
Operasional perusahaan tambang dan perkebunan di Kaltim sudah pasti terdata. Dari dari tersebut maka sudah semestinya program yang berkontribusi untuk mendukung kemandirian energi bisa dilaksanakan. 
“Perusahaan tambang yang banyak menggunakan alat berat sudah terdata. Kalau mereka tidak mau membeli ke industri biodiesel, pertanyaannya mereka nyolong solar subsidi dimana lagi,” ujarnya.
Pengembangan industri biodiesel memanfaatkan perkebunan kelapa sawit ini lanjut Rudianto Amirta sama sekali tidak akan merugikan, baik  perusahaan pertambangan batu bara maupun bagi perusahaan perkebunan. Pembangunan industri biodiesel akan menampung hasil-hasil CPO yang kurang baik (low grade CPO) termasuk hasil pertanian para petani.
Apalagi tidak jarang para petani sawit atau perusahaan sawit kerap dirugikan ketika terjadi masalah dalam pabrik pengolahan sawit sehingga hasil panen mereka tidak dapat cepat diolah sehingga membusuk dan tidak laku dijual.
“Rencana ini akan lebih memberikan jaminan. Jadi tidak akan ada lagi istilah kelebihan produksi, pabrik tidak mau membeli karena ada masalah di mesinnya. Semua hasil panen tetap bisa dibeli. Low grade CPO menjadi biodiesel, sedangkan high grade CPO bisa diolah menjadi minyak goreng, margarine, kosmetik dan sebagainya. Dengan begitu, maka kesejahteraan petani pun akan meningkat,” tegasnya.
Guna melancarkan rencana ini, driven policy atau pengaturan kebijakannya harus dimulai dari provinsi untuk ditindaklanjuti di kabupaten dan kota. Kabupaten dan kota pun harus memberikan dukungan sebab, rencana ini tentu akan sangat membantu kelancaran aktifitas ekonomi di masing-masing daerah.
Dia menjelaskan, harga solar dari industry biodiesel yang berbahan CPO berdasarkan penelitian yang telah dilakukan memungkinkan harga dipatok pada kisaran Rp8.300 perliter. Sedangkan harga solar industri dijual pada kisaran Rp9.000 hingga Rp12.000 perliter. 
“Pada kondisi seperti ini, perusahaan pertambangan akan mendapatkan harga yang lebih murah dan perusahaan perkebunan akan mendapatkan target pasar yang jelas sehingga sangat baik bagi eksistensi industri biodiesel itu. Pencurian solar bersubsidi juga bisa dikurangi yang berarti penghematan juga bagi Negara,” beber Rudianto. 
Gagasan Gubernur Awang Faroek untuk membangun lokomotif ekonomi baru yang tidak mengandalkan kekuatan sumber daya alam tidak terbarukan merupakan ide yang sangat tepat dan selaras dengan rencana ini.
Dia mencontohkan, pengembangan perkebunan kelapa sawit  di Kutai Timur. Hingga saat ini, hasil panen dijual keluar masih dalam bentuk CPO. Padahal jika bisa diolah menjadi produk turunan lain semacam biodiesel atau solar, maka daerah ini seharusnya tidak perlu kekurangan stok solar.
“Kita memiliki resources yang tinggi, tinggal niat dan aksi kita. Mau  atau tidak mengubah itu. Pada prinsipnya pengusaha itu kan tinggal didorong dengan regulasi. Saat ini pengusaha masih diberikan pilihan dan mereka pasti memilih yang paling gampang. Kalau regulasi ini dibuat, ya mereka pasti akan lakukan  itu,” ujarnya.  (sul/hmsprov)
 
 
 
Berita Terkait
Government Public Relation