Kalimantan Timur
Pilkada Serentak 2015 (bagian 2-habis)

Pilkada Serentak 2015 (bagian 2-habis)

Jika kita cermati, ada beberapa hal yang menarik dalam proses perubahan UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, antara lain dihapuskannya uji publik. Uji publik akan diganti dengan sosialisasi calon kepala daerah.

Alasan penghapusan karena waktunya sudah mepet. Padahal masyarakat pasti menginginkan calon yang akan maju dalam pemilukada, bukan saja ”didukung partai politik” atau didukung oleh masyarakat langsung melalui penjaringan calon independen.

Tetapi masyarakat menginginkan calon tersebut ”punya kemampuan” dan ”rekam jejak” tidak diragukan. Selain itu, uji publik juga dimaksudkan untuk menghasilkan kepala daerah yang teruji kualitasnya, baik secara moral, intelektual, sosial dan sekaligus untuk mengetahui latar belakang calon kepala daerah.

Subtansi uji publik jelas berbeda dengan sosialisasi calon. Uji publik adalah pengujian kompetensi dan integritas yang dilaksanakan secara terbuka oleh panitia yang bersifat mandiri, yang dibentuk oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau Kabupaten/Kota.

Tetapi kalau sosialisasi calon, intinya hanya menyebarluaskan informasi seputar calon. Kendatipun uji publik hasilnya juga tidak bisa menggugurkan  pencalonan, tetapi karena dilaksanakan oleh panitia yang bersifat mandiri dan terbuka, secara teoritis pasti memengaruhi calon pemilih untuk menentukan pilihan saat pemungutan suara.

Hal berikutnya yang dilakukan perubahan adalah pemilihan kepala daerah kembali berpasangan dengan wakil kepala daerah. Padahal substansi pemilukada tanpa pasangan menurut hemat penulis jauh lebih baik untuk menjaga keharmonisan dan ketenangan bekerja selama 5 tahun ke depan.

Karena dalam praktiknya menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, 94 persen kepala daerah dan wakil kepala daerah pecah kongsi (bercerai) apabila keduanya kembali mencalonkan diri saat pilkada berikutnya. Situasi atau kondisi seperti ini pasti akan memengaruhi pelayanan yang diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat. Selain itu, juga rawan terjadi tarik menarik dukungan Aparatur Sipil Negara di bawahnya.

Selanjutnya persyaratan pendidikan calon kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/walikota, masih tidak ada perubahan sejak 1974, yaitu sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu sekurang-kurangnya minimal berpendidikan SLTA atau sederajat.

Padahal aturan yang dibuat pada masa Orde Baru itu telah berusia 41 tahun. Persyaratan tersebut tentu saja tidak mendorong orang untuk mencapai pendidikan tinggi. Cukup dengan pendidikan wajar 12 tahun, seseorang sudah bisa menyalonkan untuk menjadi bupati/walikota, gubernur, bahkan calon presiden sekalipun.

Jadi calon presiden, calon gubernur, dan calon bupati/walikota hanya satu tingkat di atas calon kepala desa atau kepala kampung, yang minimal pendidikannya SLTP. Padahal jumlah desa di Indonesia itu 72.944 desa, sementara daerah otonom kita 541 daerah dan permasalahan yang dihadapi semakin kompleks.

Begitu juga jumlah penduduk yang diatur juga semakin banyak. Bayangkan untuk menjadi Gubernur Jawa Barat, misalnya, yang memiliki jumlah penduduk di atas 40 juta jiwa dan memiliki permasalahan sangat kompleks dan beranekaragam, cukup berpendidikan minimal SLTA atau sederajat.

Sementara untuk menjadi OB (office boy), tenaga cleaning service di perusahaan swasta sudah lama menetapkan persyaratan pendidikan minimal SLTA, bahkan untuk bagian tertentu ditambah dengan satu persyaratan, yaitu menguasai Bahasa Inggris.

Ketentuan lain yang diubah adalah persyaratan untuk calon independen. Ada kenaikan persentase dukungan untuk calon independen. Tetapi persentase jumlah dukungan tersebut disesuaikan dengan jumlah penduduk. Sebagai contoh untuk calon bupati/walikota yang penduduknya kurang dari 250.000 jiwa, dukungan minimal 10 persen jumlah penduduk yang telah memiliki hak pilih.

Daerah yang berpenduduk 250.000 hingga 500.000 jiwa, dukungan minimal 8,5 persen. Sedangkan untuk daerah yang berpenduduk 500.000 hingga 1 juta jiwa, memerlukan dukungan minimal 7,5 persen. Adapun daerah yang berpenduduk 1 juta jiwa ke atas, harus mendapatkan dukungan minimal 6,5 persen.

Jika melihat ketentuan ini, berarti ketentuan untuk menjadi calon kepala daerah melalui jalur independen justru semakin dipersulit, karena persyaratan calon independen menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, hanya mensyaratkan minimal tiga  persen dukungan. Makna yang sebaliknya, adalah peran partai politik dalam proses rekruitmen calon pemimpin daerah semakin besar.

Dalam rencana revisi Undang-Undang Pilkada juga mengatur tentang persentase perolehan jumlah suara partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung calon kepala daerah. Sebelumnya persyaratan pengusungan calon kepala daerah dari partai politik atau gabungan partai politik minimal 15 persen.

Dengan akan diberlakukannya Undang-Undang yang baru, persyaratan tersebut dinaikkan menjadi 20 persen. Artinya, kalau masing-masing calon didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan angka 20 persen, maka jumlah calon maksimal lima  pasang, di luar calon independen. Tetapi sangatlah sulit (hampir mustahil) jumlah dukungan partai politik atau gabungan partai politik  sama, yakni 20 persen. Berarti nanti dalam faktanya calon yang paling banyak dijumpai adalah 2-3 pasangan calon.

Jumlah peserta empat pasangan-pun akan jarang dijumpai, kecuali ada calon dari independen. Misalnya saja, calon pasangan A dapat dukungan 34 persen dari partai politik atau gabungan partai politik, kemudian calon pasangan B mendapatkan dukungan suara partai politik atau gabungan partai politik 27 persen, maka sisanya yang 39 persen sudah tidak memungkinkan lagi untuk mendukung dua calon.

Konsekuensi berikutnya dari sistem pelaksanaan pemilukada serentak, maka sekurang-kurangnya harus dipersiapkan lima  orang Penjabat Bupati/Walikota yang memenuhi persyaratan dan tugas utamanya adalah mengantarkan pelaksanaan pilkada secara langsung, jujur, adil dan bebas rahasia.

Hal ini dikarenakan untuk kelima daerah kabupaten/kota dimaksud pilkadanya dilakukan setelah masa jabatan mereka berakhir. Tidaklah mudah untuk menunjuk seseorang sebagai Penjabat Bupati/Walikota. Selain harus memenuhi persyaratan administrasi, yaitu minimal menjabat eselon II, berpangkat serendah-rendahnya Pembina Utama Muda (IV/c).

Selain itu juga  harus memiliki pengetahuan yang cukup di bidang pemerintahan, keragaman pengalaman penugasan serta lebih diutamakan kalau memiliki pengalaman lapangan, misalnya pernah menjadi camat kepala wilayah, sehingga bisa dijadikan modal untuk memimpin wilayah/daerah yang lebih besar.

Faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah kemampuan cara berfikir, cara bertindak dan cara bersikap, serta tidak memiliki cacat moral. Hal ini  sangat berpengaruh terhadap berhasil tidaknya seseorang menjadi Penjabat Bupati atau Walikota dalam memimpin dan mengantarkan suatu daerah melaksanakan pemilukada yang berlangsung secara umum, langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil.** (penulis adalah  Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemdes Kaltim dan juga mantan Camat Babulu dan Penajam).

 

Oleh: Moh Jauhar Efendi

Berita Terkait
Government Public Relation