Kalimantan Timur
Silvofisheri VS Enclave

Foto: fathur/humasprovkaltim

Pemerintah Desa Muara Adang terus berupaya meyakinkan masyarakat setempat untuk mendukung pengembangan tambak ramah lingkungan (silvofisheri).  Tambak dimana ditengahnya bisa ditanami tumbuhan laut seperti mangrove dan rambai laut.

 

Namun mereka masih harus berhadapan dengan pandangan masyarakat yang menolak rencana tersebut, karena menilai rencana itu hanya tahapan untuk mengambil alih lahan-lahan yang mereka kelola dan merupakan areal cagar alam Muara Adang.

 

"Kesulitan kami karena sebagian masyarakat berpandangan belum sama dengan pemerintah. Mereka beranggapan jika areal mereka ditanami mangrove, mereka  takut lahan diambil negara karena merupakan areal cagar alam. Padahal tidak seperti itu," kata Kepala Desa Muara Adang Kurniansyah, Kecamatan Long Ikis, Paser, Sabtu (14/11/2020).

 

Umumnya masyarakat membuka tambak seluas-luasnya, tanpa meninggalkan satu pun tumbuhan. Cara ini sangat berbeda dengan silvofisheri yang tetap menempatkan mangrove di tengah dan sekitar tambak.

 

Pemerintah desa kata Kurniansyah,  di satu sisi harus membela masyarakat, namun di sisi lain harus patuh dengan aturan pemerintah. 

 

"Kita perlu waktu untuk berhasil nampaknya," imbuh Kurniansyah.

 

Dijelaskan, sebenarnya status cagar alam di sini tidak sepenuhnya terkunci.  Masyarakat  masih bisa memanfaatkan lahan untuk kehidupan ekonomi sehari-hari. 

 

Alasannya, desa ini sudah ada sejak ratusan tahun dulu, sedangkan status cagar alam baru tahun 1984. Karena itu masyarakat ingin lepas dari cagar alam.

 

Kurniansyah menyebut, pihaknya akan berjuang untuk  mengusulkan tuntutan masyarakat agar ada  enclave kawasan bersama beberapa desa lainnya agar masyarakat lebih mudah dan mendukung silvofisheri.

 

Saat ini Desa Muara Adang memiliki tambak ramah lingkungan seluas 25 hektar (demplot) ditambah 70 hektar yang dikerjakan tahun ini, serta tambahan 90 hektar untuk tahun depan. (sul/humasprovkaltim)

Berita Terkait
Government Public Relation