Komitmen Kepala Daerah Kunci Keberhasilan Stop Buang Air Besar Sembarangan

Img 2838

Samarinda – Komitmen tinggi dari para kepala daerah menjadi kunci keberhasilan tercapainya kondisi Open Defecation Free (ODF) atau Stop Buang Air Besar Sembarangan (SBS) di suatu wilayah. Komitmen tersebut diwujudkan melalui kebijakan dan strategi yang efektif.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Renstra Kementerian Kesehatan 2020-2024 telah ditetapkan target 0 persen Buang Air Besar Sembarangan (BABS) dan 90 persen desa atau kelurahan memiliki akses sanitasi yang layak.

Img 2841

Direktur Penyehatan Lingkungan Kemenkes, Anas Maruf, menegaskan bahwa di akhir kepemimpinan Joko Widodo, semua pihak yang terlibat diimbau untuk menyukseskan target tersebut, terutama para pimpinan daerah. Hingga saat ini, dari target yang ingin dicapai, baru 71,5 persen desa dan kelurahan yang sudah ODF.

“Tahun ini, akhir RPJMN, kita harus bisa buktikan bahwa kita bisa mencapai tidak hanya 90 persen saja tapi bisa 100 persen ODF. Tentunya perlu komitmen dari kepala daerah supaya bisa menyelesaikan masalah stop buang air besar sembarangan untuk semua desa yang ada di Indonesia,” tegasnya saat memberikan sambutan pada Diskusi dan Pembelajaran Percepatan SBS tahun 2024 secara virtual, Rabu (31/7/2024).

Namun, berdasarkan data dari Kemenkes dan Badan Pusat Statistik, masih terdapat ketimpangan capaian ODF di tiap desa atau kelurahan. Artinya, di desa-desa tersebut masih ada kelompok masyarakat yang buang air besar di tempat terbuka sebagai sebuah perilaku.

“Karena jika kita melihat teori dasar kesehatan, derajat kesehatan ditentukan 40 persen oleh lingkungan yang sehat, 30 persen oleh perilaku, 20 persen oleh pelayanan kesehatan, dan 10 persen oleh faktor genetik termasuk faktor geografi. Lingkungan yang tidak sehat akan menjadi faktor risiko bagi munculnya berbagai macam penyakit, baik itu penyakit menular maupun tidak menular,” jelas Anas.

Img 2844

Selain komitmen kepala daerah, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah faktor perilaku atau kebiasaan serta faktor akses yang saling mendukung. Misalnya, ada orang yang sudah ingin buang air besar di tempat tertutup namun belum ada akses seperti jamban, akhirnya mereka buang air besar di tempat terbuka. Atau sebaliknya, sudah ada akses dan tempatnya tetapi perilakunya belum berubah.

“Kedua faktor itu perlu diperhatikan juga. Jangan sampai ada kebiasaan yang ingin diubah tapi akses dan sanitasi tidak mendukung. Atau sebaliknya,” imbuh Anas. (cht/pt)