Nusantara — Sejarah bukan hanya catatan masa lalu, tetapi sumber inspirasi untuk membangun masa depan. Semangat inilah yang mengemuka saat peluncuran buku “Aji Galeng dari Paser Utara: Penjaga Negeri Peletak Peradaban” di Gedung Otorita Ibu Kota Nusantara, Selasa (16/9/2025).
Ketua Yayasan Aji Galeng, Bambang Arwanto Gelar Kakah Demong Agung Nata Kusuma Diningrat, menyebut buku ini sebagai upaya menggali kembali jejak tokoh lokal yang berperan penting dalam menjaga negeri dan membangun persatuan.
“Dengan peluncuran buku ini, kita menggali sejarah tokoh lokal yang bisa memberikan spirit bagi pembangunan IKN, memupuk rasa patriotis, cinta tanah air, dan membangun peradaban dengan semangat kebersamaan (nyempolo),” ungkapnya.
Aji Galeng lahir pada 1790 dari garis bangsawan Kesultanan Paser dan Kutai. Ia dikenal sebagai figur kharismatik yang mampu mempersatukan dua tanah, Telake dan Balik, melalui ikatan politik antara Kesultanan Kutai dan Kesultanan Paser. Kini, wilayah yang pernah ia jaga berkembang menjadi Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan sebagian Kutai Kartanegara (Kukar) yang sekaligus menjadi lokasi Ibu Kota Nusantara.
Perjalanan hidupnya penuh perjuangan. Pada 1819, Sultan Kutai Kartanegara ke-16, Aji Muhammad Salehuddin mengangkat Aji Galeng sebagai panglima perang. Setahun kemudian, ia memimpin pasukan mengusir serangan Inggris yang merampas kebun rotan dan sarang burung walet di Muara Pahu, Toyu, dan Sepaku.
Pada 1821, Aji Galeng ditabalkan sebagai Panembahan dan ditugasi memimpin wilayah Telake-Balik yang berpusat di Lembakan. Tugas utamanya bukan hanya menjaga kekayaan negeri, tetapi juga mempersatukan rakyat.
Kehebatannya semakin tampak saat menghadapi Belanda. Tahun 1825, ia memimpin pertempuran sengit di Sepaku selama 93 hari, berhasil memukul mundur pasukan kolonial. Pada 1880, Aji Galeng bersama cucunya Aji Sumegong selaku Adipati Sepaku sekaligus panglima muda, kembali menorehkan kemenangan besar dengan menggagalkan ambisi Belanda menguasai sarang burung walet di Toyu dan Sepaku.
Aji Galeng wafat pada 1882 dan dimakamkan di Lembakan. Namun jejak perjuangan dan semangatnya tetap hidup. Tokoh ini kini dipandang sebagai simbol persatuan, penjaga kekayaan negeri, sekaligus peletak peradaban di tanah yang kini menjadi pusat pemerintahan baru Indonesia.
Peluncuran buku Aji Galeng diharapkan menjadi momentum memperkuat identitas, kecintaan pada tanah air, serta semangat membangun IKN bukan hanya dengan beton dan baja, melainkan juga dengan jiwa dan nilai luhur warisan para leluhur. (KRV/pt)